07 Februari 2012

Takdir ini Milik-Mu

Suara Adzan terdengar dengan sangat indah, dan para hamba yang taat segera menghadap melapor diri kepada sang Penguasa abadi sebagai bukti penghambaanya. Saatnya bulan untuk pergi istirahat dan mentari mulai muncul dengan senyuman seolah memberi salam kepada dunia.

Seorang pria yang sudah tak muda lagi, sejak beberapa bulan belakangan ini sering terlihat melamun sambil duduk didepan jendela kamarnya manakala dia tak dapat memejamkan matanya. Dia merasa hidup sendiri, sepi dan tak berarti, ironis memang dengan keadaannya yang sebenarnya. Dia selalu merasa seperti itu, walaupun dia hidup mewah dan bergelimangan harta tetap saja tak membuatnya merasa tenang. Mungkin semenjak istrinya meninggal setahun yang lalu, atau karena dia telah pension dari perusahaan yang telah berpuluh-puluh tahun dia geluti. Entahlah, tak ada yang tahu. Wajahnya seperti menyimpan kesedihan dan beban yang sangat berat.

“Kenapa sampai pagi seperti ini aku tetap tak bisa tidur juga, apakah sudah tidak ada kantuk lagi untukku?” gumamnya dalam hati.

Dia memperhatikan para hamba yang taat yang telah selesai dari pengabdiannya dan melintasi didepan rumahnya. Terlihat wajah yang ceria dan tersenyum tanpa beban, yang melangkah dengan begitu tenangnya.

“Ah..begitu tenang kah mereka menghadapi kerasnya dunia ini ?” gumamnya lagi dalam hati. Diwajah mereka tak terlihat gurat kesedihan, mereka berjalan dengan ringan dan tenang tanpa terlihat menanggung beban. Apalagi pak tua yang memakai baju hitam itu, bertahun-tahun menjalani hidup dengan istri dan kedua anaknya, tinggal dirumah sangat sederhana. Dia harus membanting tulang dari pagi hingga senja berganti malam dengan penghasilan yang pas-pasan, bahkan terkadang kurang.

Sang istri membantunya dengan menjadi buruh cuci tetangganya. Sedangkan kedua anaknya yang masih kelas 3 SD membantu ibunya dirumah dan anak pertama mereka tak melanjutkan sekolah SMP karena tak mampu untuk membayar uang sekolahnya. Dia terpaksa harus bekerja sebagai penjual Koran dijalanan. Setiap sore dia pulang kerumahnya dengan wajah yang ceria penuh kegembiraan ketika memberi ibunya uang yang dia hasilkan.

“Sungguh sulit hidup mereka, tapi mengapa mereka terlihat seperti hidup dengan bahagia tanpa beban?” tanyanya dalam hati. Tak seperti keluarga kecil yang telah dibangun oleh anak semata wayangnya yang saat ini tinggal bersama dirinya. Setiap hari ada saja hal yang diributkan. Dari masalah anaklah, gaji yang tak cukuplah karena istrinya sangat senang berhura-hura. Setiap hari mereka hanya bisa bertengkar, dan membuat pak tua itu bersedih dan tak pernah tenang hidup dirumah itu. Wajahnya semakin kusam mendengar pertengkaran itu. Tak ada kasih sayang dan kedamain dalam rumah ini .

“Rumah ini seperti neraka.” Gumamnya. “Aku berangkat kerja, Pak.” Kata anaknya sambil membuka pintu kamar ayahnya itu, dan segera menutupnya kembali. Membuyarkan lamunannya saat itu. “Tak biasanya berpamitan, biasa kalau pergi ya pergi saja. Tanpa ada rasa hormat sedikitpun.” Gumamnya lagi dalam hati.

Sementara menantunya itu sedang memandikan anaknya. Sangat terdengar ribut suasana dikamar mandi. Seperti memandikan anak satu kampong saja. Setelah itu, menantunya pun pergi tanpa pamit.

Dia merasa seperti tak dihormati lagi dirumah ini, seperti tak dianggap ada oleh keluarga kecil anak semata wayangnya itu. Dia sendiri dirumah sebesar itu, tersirat raut kesedihan diwajah tuanya. Dia menatap mentari yang semakin naik keatas, dan sesekali dia menoleh ketangan kirinya seolah melihat jam tangan yang sebenarnya tak ada. Dia teringat sewaktu ia masih bekerja, semua anak buahnya menghormati, semua perintah selalu dilaksanakan. Tidak seperti sekarang, jangankan bekas anak buah, anak menantunya pun yang menumpang dirumahnya tak menghormatinya sedikitpun.

“Apa yang salah dengan ku?” tanyanya dalam hati. Dia menyandarkan punggungnya dikursi empuknya sambil menatap langit. Pikirannya pun melayang kesana kemari, entah kemana arahnya.

“Allahu Akbar …. Allahu Akbar..”
Terdengar suara adzan, pak tua kaget dan membuka matanya. “Ternyata sudah begitu lama aku tertidur” gumamnya.

Terasa perutnya sangat lapar, dia pun pergi ke ruang makan. Dimeja sangat bersih, tak ada apapun diatasnya kecuali vas bunga. Kemudian dia pergi kedapur, disana pun kosong tak ada apa-apa. Dia membuka lemari es, tak ada satupun yang bisa dia makan. Baginya pemandangan ini memang sudah tak aneh. Menantunya tak pernah masak, takut tangannya kasarlah, kukunya rusaklah, capelah dan masih banyak alas an lainnya. Dan jika masakpun mengeluhnya bisa seharian penuh.

Dia duduk dimeja makan dan mendengus panjang sambil meletakan kedua tangannya diatas kepalanya. “Ah,,, cari makan sendiri saja” gumamnya. Sebenarnya bukan kali pertama dia melakukannya sendiri, bahkan hamper setiap hari.

Pak tua kemudian berganti baju dengan kemeja berwarna putih bergaris hitam dan celana berwarna hitam. Memakai jam tangan ditangan kirinya. Ditengah teriknya matahari, dia pergi mencari makan sendiri, hal yang sebenarnya malas ia lakukan.

Tibalah dia ditempat biasanya dia makan, disebuah warteg. “Siang, Pak” sapa seorang ibu pemilik warteg tersebut. “iya..siang” jawabnya.

“Bapak kenapa? Sedang sakit? Atau..” Tanya si pemilik warteg tersebut, yang kemudian dipotong “Saya hanya tidak bisa tidur tadi malam.” Potongnya.

“Oh..saya kira bapak sakit. Bapak mau pesan apa?” Tanya si pemilik warteg kembali.

“Seperti biasa” jawabnya singkat. Si ibu pemilik warteg ini sudah hafal betul kebisaan pak tua itu. Dia menyiapkan pesanan pak tua itu dan langsung kembali kebelakang.

Setelah selesai makan dia pun mengeluarkan uang Lima puluh ribuan dan membayarnya. “ Saya belum punya kembaliannya , Pak.” Kata si Ibu.

“Ambil saja untuk nanti.” Katanya sambil beranjak pergi. Si Ibu hanya melihat dari kejauhan, hingga ia pun menghilang dari penglihatan si Ibu tadi.

Dia berjalan tanpa tujuan, tatapannya seakan mencari jalan untuk dia tuju. Kemudian dia memberhentikan sebuah angkutan desa yang ada didepannya. “Mau kemana , Pak?” Tanya sopir tersebut.

“Bawa saya kemana angkutan ini berakhir.” Katanya. Semua orang yang berada didalam mobil tersebut melihatnya dengan heran. Tapi pak tua itu terlihat tak peduli dengan tatapan aneh mereka. Entahlah apa yang mereka pikirkan, dan si sopir pun hanya menggelengkan kepalanya sambil melanjutkan perjalannya.

Empat jam berlalu, satu persatu penumpang pun mulai turun. Tatapannya seakan menerawang kesana kemari. Tapi kemudian tatapan itu tertuju pada sebuah lapangan yang dipenuhi anak-anak yang sedang bermain bola.

“Berhenti” katanya cepat. Kemudian sopir itu cepat memberhentikan kendaraannya. Pak tua itu memberinya uang lima puluh ribu.

“Saya tidak ada kembaliannya, apa ada uang kecil, Pak?” Tanya sopir itu ketika dia memberikan uang ongkos itu.

“Ambil saja semua.” Katanya sambil berjalan pergi menuju lapangan tersebut. Sopir itu terlihat terheran-heran dan beberapa saat diam tanpa kata. Kemudian setelah sopir itu sadar dari diamnya, dia mengucapkan berkali-kali terimakasih. Tapi, pada saat itu dia tak mendengar kata-kata sopir tadi.

Dia duduk diatas batu berukuran cukup besar yang berada di pinggir lapangan. Dia memperhatikan anak-anak yang sedang bermain bola tersebut. Sesekali dia bersorak gembira ketika ada anak yang memasukan bola, tapi tak tau tim mana yang dia dukung. Dia terlihat begitu bahagia setelah beberapa bulan ini tak tertawa lepas.

Hari pun mulai senja dan anak-anak itu pun mulai menyudahi permainannya. Dia menghampiri mereka dan berkata kamu hebat, kamu berbakat dan bebagai macam pujian yang membuat mereka tertawa. Kemudian dia memberi mereka uang sepulur ribu satu persatu. Mereka pun sangat senang , “ Terimakasih , Pak.” Kata salah satu dari mereka dan diikuti oleh yang lainnya. Setelah itu mereka pun pergi untuk pulang. Terlihat kesedihan diwajahnya ketika mereka semua menghilang dari pandangannya. Wajah yang tadi ceria dan terlihat sangat bahagia seperti hilang ditelan senja.

Dia pun berjalan lagi tanpa tujuan, dilihatnya jam tangannya. “Ternyata sudah jam enam.” Gumamnya. Dia terus berjalan dengan agak sempoyongan, mungkin karena kecapean. Ketika dia berjalan tiba-tiba dibelakangnya melintas motor dengan cepat dan menyerempetnya sehingga dia terjatuh. Dan ia pun tak sadarkan diri.

Terdengar suara ditelinganya namun dia tak mampu membuka matanya. Dan ketika dia benar-benar sadar, dia baru menyadari dia berada didalam rumah yang sangat sederhana dengan orang-orang asing disekitarnya.

“Syukurlah bapak sadar, bapak berasal dari mana?” Tanya salah seorang pria yang mungkin seumuran dengan anak semata wayangnya. Pak tua itu bingung dan berkata “Apa yang terjadi dengan saya?”

“Tadi bapak pingsan ketika ada motor yang menabrak bapak.” Katanya menjelaskan. Dia mengingat-ingat kembali. Tiba-tiba ada seorang wanita yang keluar dari dalam membawakan teh untuknya. Mereka sepertinya sepasang suami istri. Wanita itu sangat ramah dan sangat baik. “Andai saja aku memiliki menantu seperti dia.” Katanya dalam hati.

“Bapak dari mana, dan mau kemana?” Tanya si pria yang bernama wahyu itu. “Aku tak tahu mau pergi kemana.” Katanya sambil menggeleng. Mereka berdua saling menatap dengan heran. Kemudian dia menceritakan kenapa dia sampai berada di desa ini. Mereka pun mendengarkan dia bercerita, dan dia merasa senang karena mereka adalah pendengar yang baik.

“assalamu’alaikum.” Tiba-tiba terdengar suara salam, dan kemudian terlihat anak perempuan yang usianya kira-kira delapan tahun. Anak itu menyalami kedua orangtuanya dan dia.

“Ini anak kami.” Kata wahyu kemudian. Pak tua itu tersenyum. Tedengar suara Adzan wahyu tiba-tiba berkata “Ayo kita sholat berjama’ah.” Dia tersenyum. Mungkin karena sudah lama dia tak melaksanakan kewajibannya untuk selalu melaksanakan sholat. Dia sholat hanya karena malu dengan ajakan mereka.

Mereka pun pergi ke sebuah mosolla yang terletak tak jauh dari rumah itu. Dia mengambil wudhu yang mungkin sudah lama tak pernah ia lakukan. Kemudian dia memasuki mosolla, terasa bergetar hatinya saat itu. Tak tau kenapa, entah dia merasa malu atau merasa aneh kerena sudah lama meninggalkan kewajibannya itu.

Kemudian mereka sholat berjamaah. Ketika selesai seperti biasa di musolla itu selalu diadakan doa bersama. Dia menitikan air matanya, dia merasa telah membuang waktunya dengan sia-sia tanpa melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim. Dia menyesal karena dia bersikap sombong dan tak mau lagi beribadah kepada Tuhannya. Tetapi dia bersyukur masih diberi waktu untuk bertaubat, setidaknya dia dapat menyesali semua perbuatannya dan semua yang telah diabaikannya.

“Kalau saja sewaktu kecelakaan itu aku tak tertolong, mungkin aku akan menjadi orang yang sangat berdosa karena tak sempat meyadari semuanya dan bertaubat.” Katanya dalam tangisnya.

Kemudian dia keluar dari musolla dengan hati yang tenang. Sekelebat bayangan ketika dia melihat begitu tenangnya orang-orang yang keluar dari mesjid dan melintasi depan rumahnya. Mereka sangat tenang bagai tanpa beban, dia merasakan ketenangan sama seperti orang-orang yang keluar dari musolla itu. dia tidak kembali lagi kerumah keluarga kecil tetapi bahagia itu. dia langsung melangkahkan kakinya untuk pulang

“aku adalah seorang hamba yang tidak taat kepada Allah, mungkin aku begini karena perbuatanku selama ini, dan perjalanan hidupku ini adalah cobaan dan tantangan hidup dari Sang Ilahi. seharusnya disaat aku seperti ini, aku lebih mendekatkan diri kepada Sang Ilahi. Allahu Akbar…

kejadian ini semua dijadikannya sebagai ilmu yang sangat berharga dalam menjalani hidup ini. ternyata harta kekayaan yang melimpah dan jabatan yang tinggi tak menjadi modal utama untuk menjadi bahagia. Disinilah pelajaran yang sangat berharga dalam menjalani hidup ini. Taat kepada Sang Ilahi, dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta adalah kunci utama untuk bahagia. bahagia didunia ini dan bahagia di akhirat nanti.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates