Cinta itu buta, katanya. Tapi menurutku, tidak demikian dengan insan di sekelilingnya. Siapakah yang memberikan larangan terhadap cinta? Setahuku tidak ada. Lalu siapa yang mengkotak-kotakan cinta? Bahkan Tuhan pun di setiap kitab yang kubaca tidak pernah melarang ciptaanNya untuk bercinta. Lalu mengapa ada hati yang terluka karenanya? Aku akan bertutur kepadamu-siapapun dirimu itu-tentang kisah dua anak manusia, yang terpisah karena garis yang dibuat sendiri oleh manusia dan agama.
***
Dia, Monica, pada tahunnya adalah gadis yang rupawan nan elok parasnya. Pada seperempat abad usianya, dia adalah seorang wanita yang dilirik oleh banyak pria, tak pelak diirikan oleh wanita sebayanya. Matanya bulat, hitam, jernih membuatnya bak bola ping-pong. Diantara hidungnya terletak kacamata yang membuat terlihat dewasa, sungguh menggoda. Kamu harus melihat kecantikan bibirnya yang tipis dan mempesona, kuyakin kau tak akan berpaling darinya.
Monica, pada saat itu sudah selesai menempuh pendidikan sarjana di bidang ekonomi perbankan. Tak usah kau tanyakan dari universitas mana, tapi yang kutahu, sebelum lulus dia sudah diincar oleh banyak pencari tenaga. Sekarang dia pun sudah bekerja, sudah mapan istilahnya. Yang kudengar, saat itu dia sudah siap dipromosikan menjadi salah satu branch manager bank tempatnya bekerja. Dan memang, tak lama dari berita itu beredar, dia sudah siap dipindahtugaskan. Tak jauh memang, sebatas Jakarta ke Bogor, sepeluh dua peluh pun sampai.
“Ma, doa kita tak sia-sia! Aku diangkat menjadi manager bank di salah satu cabang Bogor,” ucapnya sambil melambai-lambaikan surat pengangkatan dan pemindahantugasan.
“Puji Tuhan, Tuhan mendengar doa kita. Andai Papa mu masih ada, tentulah dia senang mendengar berita bahagia ini. Baiklah, nak, mari kita persiapkan untuk keberangkatanmu besok.”
Dan minggu pun berlalu, Monica-sekarang ibu Monica oleh bawahannya-sudah menjadi kepala di tempat kerja barunya. Hari pertama adalah hari yang ditunggu. Serangkaian prosesi dijalankan, tidak ada yang aneh, tidak ada sesuatu yang sangat berkesan, tapi dia mengakui bahwa itu semua seru. Wakil kepala yang sinis, kepala administrasi yang flamboyant, kasir yang rok spannya terlampau diatas lutut, atau satpam yang sangat tulus saat menyapa, mereka orang yang setiap hari akan menjadi rekan kerjanya. Tidak ada yang berbeda dari tempat kerja dia sebelumnya sungguh.
Sebulan sudah hampir lewat, dia menjalani hari kerjanya terlalu dahsyat. Pukul 08.00 sudah tiba di tempat, jam makan siang dihabiskan dengan memakan bekal dari kost-an demi bisa mengecek tumpukan yang baru selesai di screen ulang oleh keuangan, sampai pukul 17.00 pulang kembali ke kost-an. Selalu begitu setiap hari, mungkin kecuali Minggu saat dia beristirahat sejenak, untuk sekedar beribadah ke Yang Esa.
Adalah Adelia, karyawan personalia yang dekat dengan Monica. Wanita gempal berambut bondol dengan ketawanya yang khas menggelegar menjadi teman barunya. Monica mendapati Adelia sangat lucu jika sedang bicara, terlalu sering was-wes-wos istilahnya, ibarat penyejuk di tengah keruwetan tali kusut yang bergulung-gulung didalam kepala. Sebaliknya demikian dengan Adelia, dia memang suka bergaul dengan Monica, tak tahu sebabnya kenapa. Sering Adelia menyadari bahwa dia sering didapati menganga lebar ketika Monica berbicara, tentu saja karena Adel tak bisa menangkap apa yang sedang diutarakan panjang lebar oleh Monica, tapi toh dia senang.
Adel yang pertama kali gerah dengan aktivitas Monica. Dia beranggapan bahwa Monica adalah robot. Senin-Sabtu bekerja, Minggu ke gereja, kalau bukan robot apa namanya? Adel harus, dan harus bisa merilekskan sedikit urat syaraf temannya, maka dia mempunyai ide briliannya yang pertama, mengajak Monica makan siang.
“Mon, sekali-sekali makan yuk di luar, ga bosen apa makan terus di kantor?”
“Yah, tapi aku sudah buat bekal, Del. Sesok aja gimana?”
“Gak mau! Udah ayo sekarang, taruh aja bekalnya, kita ke Botani Square, makan disana, banyak cowok ganteng loh jam segini,” ujar Adel dengan tawanya lagi yang khas.
Berhasil! Monica terbujuk. Di mall pun Adel berhasil meyakinkan bahwa mereka harus setiap hari makan di luar. Dengan begitu otak tidak menjadi terlalu jenuh katanya, yang diiyakan oleh Monica pada detik berikutnya. Kegiatan ini berlangsung hingga minggu berikutnya, tidak ada yang berubah, hingga pada suatu Selasa cerah.
“Hey, Adel kan? Masih ingat aku?” ucap seorang lelaki, yang sekilas lirik, mungkin 170 cm.
“Iya, kamu sia.. Oalah! Kamu Misel, kan? Kemana aja? Ga ada kabarnya sejak pindah ke Stockholm, itu Norwegia kan?” Adel sepertinya sangat seru sekarang.
“Bukan, itu Swedia,” tutur Misel sambil tersenyum cerah. Monica memperhatikan, saat tersenyum gigi Misel putih rapi. Garis rahangnya jelas, dan ada bekas cukur di dagunya.
“Eh iya ya, ya gitu deh pokoknya, kan yang penting Eropa,” Adel cengengesan, “sini duduk. Dan kenalkan, ini Monica, bossku di kantor.”
Monica berjabat dengan Misel, jabatannya mantap dan tegas pikir Monica. Aroma musk dan woody terkuar saat Misel duduk disampingnya. Sangat jantan. Apa rasanya kalau dirangkul oleh Misel ya? Lalu Monica tersadar, apa sih yang sedang dipikirkannya.
***
Awal perkenalan begitu mengesankan, begitu bunyinya. Tak dirasa sudah tiga bulan sejak pertemuan tak sengaja mereka disana. Misel sudah mengungkapkan perasaannya setelah kencan mereka yang terakhir ke sebuah acara pemutaran film perdana di sebuah bioskop di Jakarta. Hubungan mereka romantis dan penuh cinta, hampir setiap siang mereka makan siang berdua, padahal kantor tempat Misel bekerja ada di Jakarta. Tapi jarak Bogor-Jakarta tetap dijambangi oleh Misel demi bertemu pujaan hatinya. Pada akhir Minggu, biasanya mereka akan pergi ke tempat yang sedang ‘panas’ di ibukota. Atau mungkin hanya menghabiskan waktu di apartemen Misel di kawasan Sudirman.
Tapi semua berubah disini. Di hari jadi mereka yang kedelapan bulan, entah siapa yang memulai, tapi sepertinya hasrat keduanya memang tak bisa dibendung. Hubungan yang seharusnya tidak mereka lakukan sebelum duduk di pelaminan terjadi juga. Monica sungguh takut dan cemas sesudahnya. Sementara Misel tetap tenang dan yakin siap bertanggung jawab bila suatu dua hal terjadi karena hasil bercinta mereka. Sebenarnya, tidak ada yang disesali oleh kedua pihak, mereka memang saling cinta. Kalaupun terjadi apa, mereka berdua sudah lebih dari mapan untuk menanggungnya.
Akhir bulan terlewat, dan bulan tak kunjung tiba, Monica mulai bercerita kepada Adel tentang kejadian malam itu.
“Waduh, kamu sih, Mon, pake acara ga aman gitu. Ya udah, jam pulang, aku temenin kamu ke apotek ya, kita beli test pack, semoga cuma karena kecapekan aja.”
Tes dilakukan, hasilnya positif. Adel dan Monica mendatangi lab hanya untuk meyakinkan bahwa Monica positif berbadan dua. Malam itu juga Monica dan Adel bertemu Misel di kafe di kawasan Kemang.
“Jadi kamu beneran hamil ya?” dan hanya disahuti Monica dengan sebuah anggukan.
“Sel, tapi kamu tanggung jawab kan?” tembakan langsung oleh Adel.
“Pasti lah, kapan kita kerumah orang tua kamu Mon?”
***
“Halo, Mah,” ucap Monica, ada nada sendu di perkataannya, dan mama-nya jelas menangkap nada itu. Ada sesuatu yang tidak beres. Tapi toh mereka berpelukan.
“Halo, sayang, mama kangen banget ama kamu. Kamu satu tahun ini ga pulang, ga kangen apa ama mama dan Mas Aryo? Kakakmu itu akhirnya udah mau nikah loh. Eh, tapi kita masuk dulu lah. Lho ini siapa? Teman Monica ya?” senyum sang ibu sambil memberi tangan untuk berjabat.
“Saya Misel, pacarnya Monica, tante,” kata Misel sambil menyambut jabat tangan.
“Wah, kok kamu ga ada cerita di e-mail, Mon? Yuk, masuk dulu.”
Maka masuklah ketiga orang itu kedalam ruang tamu yang cukup luas. Setelah teh manis dan kue kering dihidangkan, maka Monica mulai menangis.
“Loh, kamu kenapa sayang? Ada apa sih? Coba ceritain ke mama.”
Dalam sesenggukannya, Monica bercerita. Suasana terdiam setelah Monica selesai bercerita. Tidak ada yang berbicara untuk lima menit. Hanya sesekali sesenggukan Monica terdengar.
“Jadi, Nak Misel mau bertanggung jawab?”
“Itu jelas, tante.”
“Tante gak ada masalah kalau begitu. Walau berat dan mungkin kita ga harus cerita ke keluarga besar, tapi mari dijalankan. Tapi sebelumnya, tante orang yang berpegang kepada Tuhan dan agama, tante ga mau kalau suami Monica bukan Kristen. Nak Misel agamanya apa?”
“Saya atheis, tan,” hening sejenak.
“Maaf?”
“Saya atheis,” ucapan Misel terdengar ragu, tapi dia melanjutkan, “saya tidak ada agama atau kepercayaan.”
“Tapi… tapi.. sori, kamu ga bertuhan? Dan gimana kamu mau jadi bapak dari cucu saya? Gimana kamu mau pimpin keluarga sementara kamu ga bertuhan?”
“Tan, menurut saya memimbing anak tidak ada hubungannya dengan tuhan, itu semata kemampuan orang tua membangun psikologi…”
“Ya jelas ada! Kamu kira saya ngedidik Monica dari kecil sampai sebesar ini dengan apa kalau bukan didalam Tuhan, ha? Kalau bukan karena Dia, ga ada saya bisa ngebesarin Monica sampai segede ini. Akhlak dan iman apa yang bisa kamu tanamkan ke anak kamu kalau kamu ga kenal dengan Tuhan?” dada mama Monica naik turun karena panas sementara Monica semakin deras derai air matanya.
“Tante, saya percaya membangun akhlak ga harus semata dari agama, penanaman budi luhur kepada anak cukup untuk membuat anak menjadi manusia yang baik. Tidak ada jaminan dengan beragama anak ki….”
“Huusyahh, diam kamu, anak muda ga ada pengalaman ga bertuhan seperti kamu mau ceramahin saya tentang akhlak pula. Monic! Mama ga mau lelaki ini jadi suami kamu, kalau memang kamu mau ngelahirin anak itu, kamu punya mama, kita cukup berdua.”
“Tapi, Mah…” suara Monic lesu hendak menjawab.
“Gak! Gak ada tapi-tapian. Kalau perlu biar mama yang cari suami yang cocok buat kamu. Kecuali dia mau meninggalkan pikiran keberhalaannya dan tobat ke dalam Tuhan, jangan harap kalian dapat restu dari mama!”
***
Di dalam sebuah mobil yang melaju kencang di jalur tol lingkar luar Jakarta, hujan turun. Cukup deras. Sama derasnya dengan air mata yang terus mengalir di pipi Monica. Hatinya hancur. Tadinya dia sudah tahu mamanya akan kecewa, tapi dengan Misel bertanggung jawab, dia berpikri mamanya akan menerima.
“Sel….” ucap Monica lesu.
“Iya, sayang?” jawab Misel sambil terus termenung di setirnya melajukan mobil yang mereka bawa.
“Atau bagaimana kalau kamu baptis dan masuk ke dalam Kristen, paling tidak, sampai kita menikah. Biar mama senang dan memberi restu untuk kita.”
“Sayang, sama seperti kamu yang mempunyai kepercayaan tertentu terhadap Tuhan mu, begitu pula aku percaya bahwa tidak ada suatu zat yang dinamakan Tuhan. Lagipula, haruskah aku menodai Tuhan dan agamamu-jikalau mereka benar ada untuk sesuatu yang tidak aku percayai dan imani? Tidak, sayang, bukan itu jawabannya.”
“Tapi kalau gitu gimana, aku ga mau anak kita ga punya ayah, atau ber-ayah-kan orang lain.”
“Itu kita pikirkan kalau kita sudah sampai di apartemen dan bisa berpi….”
“Kamu selalu ngelak kayak tadi di depan mama! Apa sih sebenernya yang kamu mau? Kayak gini aja kamu ga mau berkorban, padahal ini untuk anak kita! Egois! Ga nyangka kamu bakal kayak gini Sel,” bentak Monica.
“Loh! Kok kamu jadi balik marah ke aku? Dari awal kamu tau aku begini dan kamu ga keberatan. Kamu bilang cinta itu tak berbatas,” balas bentakan dari Misel sambil memukul setirnya
“Oh, jadi sekarang kamu mau nyalahin aku, ha? Muter balikin kata-kata yang… SEL AWAS TRUK DEPAN!!!”
Misel kaget dengan teriakan itu, spontan dia menginjak perseneling dan rem, seraya menurunkan gigi dan mengubah arah stir. Mobil berputar, diangkat handbrake sedikit sambil terus menurunkan gigi, di arah kanan saat berputar sepintas Misel masih bisa melihat beberapa mobil menghindarinya, tapi tidak dengan mobil SUV yang itu. Mobil SUV itu tampaknya telat sadar dan tak dapat menghindar, menabrak dengan kecepatan penuh kea rah sedan mereka. Sedan terlempar dan berguling hingga menabrak pembatas jalan dan terus berguling lagi.
Hal terakhir yang dilihat Monica adalah gelap. Sesayupan dia mendengar deritan rem mobil, klakson. Sesayup kemudian sirene, dan kemudian selanjutnya benar-benar gelap.
***
Hujan turun lagi, deras. Kali ini tumpah ruah dengan segala kedahsyatannya. Tanah di pemakamanmu itu basah dan merah. Aroma khas tanah menguar di udara. Dari gerbang pemakaman aku melihat banyak mobil yang keluar dan juga orang berjalan. Dua wanita masih menatap selapak tanah yang sudah dinisani itu.
“Yang sabar, ya,” Adel mengucapkan itu dengan susah payah, mengatupkan mulut menggertak gigi, agar tidak turun lagi air matanya. Adel menepuk pundak wanita itu, dan berjalan menjauhi nisan.
Wanita yang satunya masih tetap berdiri dan menangis di depan makam itu. Di nisan itu tertulis dengan jelas ‘Disini beristirahat dengan tenang Monica Gracia dan Misel Sumardijaya..’
“Monica, maafin mama…” ucapnya dengan penuh tangis dan sesal.
Tapi tangis dan sesal itu tidak merubah apa-apa.