31 Desember 2011

Keluh Sang Burung Kecil

Di kala burung-burung lain bisa menari dan bernyanyi gembira, namun hanya ada seekor burung kecil yang terdiam dan sesekali merasa iri hatinya. Dulu senyum dan tawa sejalan dengan hatinya menemani sang burung kecil berlari-lari di langit biru. Menari-nari di antara awan-awan yang saling bergandengan dan ia pun bebas menembus deretan awan tersebut dengan tubuh mungil miliknya. Riang. Ceria. Penuh tawa. Namun tidak untuk kali ini. Seakan Tuhan tak adil dengannya. Apa yang terjadi padanya? Sayapnya rapuh. Sayapnya telah patah. Sayapnya tak lagi sempurna. Apa yang menyebabkan sayapnya tak lagi sesempurna dulu? Sang ombaklah yang menyebabkan sang burung kecil tak lagi bisa seceria sedia kala dengan sayap indahnya. Sang ombak menerpanya saat ia hendak mencoba mencari sebuah ketenangan diri untuknya di tepian pantai yang ia sebut itu surga pengaduannya. Sungguh ini bukan salah Tuhan sepenuhnya. Hanya saja sang burung kecil tak berhati-hati dan tak benar-benar menjaga hal yang paling berharga untuknya. Apa gerangan yang membuatnya hingga lalai pada sayapnya? Entah darimana itu bermula. Dengan mudahnya sang burung kecil meneteskan air mata dari sudut matanya. Dalam benaknya terbersit pikir ingin rasanya mati suri saja karena ia tak akan lagi kuasa untuk mengepakkan sayap indahnya seperti pelangi yang hadir saat mentari bersinar di kala hujan reda. Indah penuh warna. Indah penuh rasa. Indah penuh ceria. Yang ada sekarang hanyalah derita untuknya.

Acap kali melihat segerombolan burung tetangga melayang-layang di langit biru, ia hanya beranggan seperti mereka, yang bisa mengarungi seluruh penjuru jagat raya hingga letih menghampirinya. Lagi-lagi, itu hanya angan dan harapan semata. “Mungkinkah Tuhan berbaik hati padaku dan meminjamkan aku sayap agar aku seperti mereka di sana,” harapnya.

Saat malam tiba, tertatih ia pada dahan di atas tempat ia mengadu keluh kesahnya sembari menatap langit penuh bintang serta dewi bulan purnama. Apa yang sang burung kecil lakukan? Seperti biasa, ia melamunkan nasibnya esok harinya.

“Tuhan.. sudikah Kau memberikan keajaibanMu untukku, aku tak kuasa terus meratapi luka sayapku ini, aku tak ingin terus terdiam melihat mereka menari dan bernyanyi, sedangkan aku…” keluhnya sesaat.

Tanpa sadar air mata pun tumpah membasahi pipi merona merah mungilnya. Sesekali ia melihat sayap di kedua sisinya. Luka. Rapuh. Tak berdaya. Sepertinya esok hari akan sama saja seperti hari ini dan kemarin hari di mana sayap ini tak akan terkembang. Siulnya pun tak terdengar karena tersamar isak tangis penuh harap di antara rintih luka pada sayapnya. Malangnya sang burung kecil.

Esok hari menjelang, sungguh sang burung kecil ingin sekali bangkit dari derita. Ia membantah ucapannya malam tadi dan mencoba beranjak dari keterpurukannya. “Aku bisa! Aku bisa! Aku bisa seperti mereka!” teriaknya pagi itu. Dengan bermodal dahan untuknya berpijak, perlahan namun pasti ia berdiri tegap, tatapan penuh harap tersirat pada kedua bola matanya yang berbinar seakan berkata, Sang burung kecil bisa terbang kembali kawan! Dikepakkannyalah kedua sayapnya itu dan… ia terjatuh. Tenang! Itu baru permulaan, gumamnya dalam hati. Dua kali, tiga kali, hingga entah beberapa kali ia mencoba tetap yang terjadi hanyalah kepercumaan belaka, ia terjatuh. Sayap ini masih rapuh. Sayap ini masih penuh luka. Sayap ini belum bisa mengerjakan tugasnya seperti sedia kala. Sayap ini masih penuh dengan keperihan.

Berlarilah ia menuju tepi pantai surganya. Ombak menyambutnya dan segera menjauhinya, begitu pula seterusnya. Sudah biasa hal ini terjadi. “Ombak! Kau jahat padaku! Kau buat sayapku luka, kau buat aku tak lagi bisa sempurna seperti mereka. Mengapa kau mengusikku saat aku mulai merasa ketenangan menghampiriku di tepian ini?” protes sang burung kecil. Memang ini tak adil mungkin untuk sang burung kecil. Ombak yang semula dapat menyambut hangat kehadirannya, ombak yang semula penuh kedamaian dan ketenangan, seketika berubah menjadi tak terkendali, liar. Ombak tak lagi menyapa sang burung kecil dengan deru senandung pertemanan yang saling berkejaran satu sama lain, tak lagi ada kedamaian yang terpancar dari derunya yang menggebu-gebu itu.

“Lihat Ombak! Lihat sayapku yang rapuh, ini ulahmu!” teriak sang burung kecil pecah.

“Apa salahku hingga kau buat harapanku sirna? Apa salahku hingga kau mengusikku sedangkan aku tak berniat sedikit pun mengusik kedamaian yang kau punya? Tunjukkan di mana salahku? Apa aku memang tidak diizinkan untuk merasakan hal yang disebut kebahagiaan seperti yang mereka rasa? Menari-nari beriringan di langit biru dengan tiupan hangat angin menyibak buluku atau bernyanyi berirama mengikuti detakan jantung bumi,” ucapnya terisak dan diiukuti badannya yang kemudian tumbang. Ombak hanya diam, diam, diam, dan diam. Serasa percuma setiap teriakan yang pecah terlontar toh ombak tak jua mendengar. Seakan sang ombak tidak tahu apa-apa. Seakan sang ombak bukan penyebab sang burung kecil sekarang menderita dan merasa dirinya seperti sampah yang tak bermakna. Untuk apa ia hidup kalau nyatanya seekor burung kecil sepertinya tidak bisa terbang, karena bagian terindah dari dirinya yang tak ia jaga kini patah.

Senja pun tiba berganti malam. Waktu begitu cepat berputar hingga tak terasa ia hanya terpaku di sana. Angin semakin kuat berhembus mendinginkan suasana. Sang burung kecil menatap kosong memperhatikan gerak-gerik ombak yang saling berkejaran ke sana kemari dengan caranya. Lelah pun menghampiri sang burung kecil. Tertunduklah ia. Sayapnya pun dibiarkan melemah. Malam ini sepi dan begitu sunyi, hanya terdengar deru ombak bersuara menghantam karang seperti menyerukan irama.

Namun cahaya terang itu menghampiri, sinar terang menyinari burung kecil. Sinar itu milik sang bintang yang tiba-tiba mendekati sang burung kecil. Dengan baik dan hangat ia menyinari sekujur tubuh sang burung kecil. Kembali tersenyum ia. Ternyata masih ada yang sangat peduli dengannya. Malam kini tak lagi sepi dan sunyi. Malam kini tersinari cahaya bintang. Tapi ini tak berlangsung lama, bintang hanya mampu menyinari malamnya, tidak demikian untuk pagi dan siangnya. Sayapnya pun tak kembali sempurna walau sang bintang menyinarinya. Bukan itu yang ia inginkan! Kembali sang burung kecil tertegun dan harus melapangkan dadanya saat bintang tak lagi menyinari malamnya. Sedih harus terabaikan. Apa memang seekor burung kecil sepertinya harus dihadapkan dengan segala kepahitan dihidupnya? Apa ini yang Tuhan berikan untuknya? Dosa apa lagi yang ia lakukan pada bintang yang tak lagi ada sapa seperti biasa? Belum sembuh luka atas sayapnya kini berganti luka karena kesepiannya.

Kesedihan menghantuinya, serasa ingin segera jatuh dari ketinggian berharap akan hilang ingatan. Tapi Tuhan masih sayang padanya. Belum saatnya semua benar-benar sirna. Walau derita terus melanda, ia harus bangkit dan menganggap semua akan baik-baik saja itu hal yang tak mudah. Keyakinan membawanya berteguh hati untuk kesekian kalinya dan mencoba tersenyum sekuat tenaga, mencoba menerima hal yang seharusnya tak ia terima toh Tuhan pasti punya skenario terindah untuknya.

Hari berganti hari. Detik berlaju seirama hingga waktu berputar dan terus berputar walau keadaan yang tersaji tetaplah sama. Tetaplah sang burung kecil yang tak bersayap sempurna. Hingga saat semua kembali seperti selayaknya, Tuhan memberikan kejutan tak terduganya. Kembali cahaya terang itu datang. Tapi ini berbeda, bukan cahaya dari sinar sang bintang. Lebih terang dan lebih hangat terasa. Sinar yang terpancar dari tubuhnya menambah penerangan di kala sepi menerka. Berharap ini bukan cahaya yang semu belaka. Dengan langkah pasti sosok itu pun muncul dari balik sinar terangnya. Putih seputih cahayanya. Sang burung kecil tercengang seketika. Sosok itu mempunyai sepasang sayap sempurna, tapi sosok berbeda dengannya. Sosok apakah itu? Perlahan demi perlahan, sinar yang terpancar dari kedua sayapnya pun mengangkat sayap sang burung kecil dan sekelebat mengobati luka sayapnya. Alangkah terkejutnya dan tak percayanya ia. Sayapnya kembali terkepak dengan indanya. Ini hebat! Terpancar ceria diwajahnya. Air mata bahagia pun menghiasi wajah lugu milik sang burung kecil. Cahaya itu perlahan meredup seiring bersinarnya sayap sang burung kecil. Belum sempat berucap padanya, sosok itu menghilang layaknya kilat menyambar. Sangat disayangnya, sang burung kecil tak sempat berterima kasih atas kebaikannya hari ini.

“Tuhan, sampaikan terima kasihku pada sosok baik itu yang telah rela menyempurnakan kelemahanku, bagiku ia malaikat penjagaku, ia telah baik membuat senyum ini tersimpul di antara siulku dan kembali membuat sayapku bisa mengiringi langkahku, dan Tuhan, ombak itu adalah ciptaanMu, aku tak berhak menyalahkannya karena telah membuat patah bagian terindahku, hanya saja beri ia keindahan sehingga ia mengerti aku pernah mengaguminya saat tenang itu menyambutku,” ucap sang burung kecil dengan senyum merekah dihatinya.

24 Desember 2011

Makasih Buat Kamu yang dulu telah menjadi motivasi jiwaku

Malam ini gelap sunyi hampa dentang-denting kehidupan menjelma di setiap kalbu. Rintik-rintik gemercik siraman air hujan membasahi jiwa. Gejolak hati yang ingin meronta tak kuasa menahan lara. Hilir angin mengayun-ayun menusuk ke relung hati. Malam ini aku bimbang mengatakan satu kata yang bermakna. Rintihan demi rintihan hati merajut sukma. Perih jiwa ini, luka yang belum lama terobati hanyut bersama gejolak duka asmara. Air mata ini tak kuasa ku bendung, hanya tangis lirih yang ku panggul.

Setiap manusia yang hidup didunia ini pasti mempunyai suatu perasaan yang dinamakan CINTA. Cinta berasal dari rasa menyukai keindahan sebuah pesona jiwa yang terpancar dari nur cahaya yang terpendam pada diri sang pujaan. Ketahuilah oleh mu setiap perasaan cinta pastikan membawa bahagia namun pabila sebelah pihal tak mendapatkan perasaan ini apa boleh dikata, kau tak boleh hancur karenanya.

Semua yang akan terjadihadapikah dengan senyum jiwa. Karena semua ynag terjadi adalah kehandak Allah SWT. Janganlah kau merasa hancur dsn sakit hati olehnya, karena yang selama ini kau cinta dan kau sayangi takkan pernah melupakanmu dan pergi menjauhimu.

Aku yang tidak bisa mencintaimu tuk kujadikan kekasihku, namun aku mencintaimu sebagai sahabat tercintaku. Kata-kataku mudah-mudahan membuatmu tak hancur karnanya dan janganlah kau benci padaku!

Pertama bertemu denganmu aku tertarik karna kau baik dan mempesona. Ku akui dari beberapa lelaki yang pernah dekat denganku dan mencintaiku, hanya kau yang paling sabar dan membuatku kagum padamu. Namun rasa kagum ku tertahan tuk mencintaimu menjadi kekasihku. Karnaku telah lama hinggap disatu sisi hati yang lain. Maafkan aku mungkim dengan mengulur-ulur waktu tuk menjawab perasaanmu padaku. Mudah-mudahan membantu memotivasi dirimu. Ingatlah aku, janganlah kau lupakan aku walau kelak kita jauh. Aku akan selalu sedia membantumu dan menolongmu dimana pun kau berada. Mungkin kali ini kau hanya jadi sahabatku, mungkin dilain waktu kau akan menjadi kekasihku.

“Terimakasih karena kau telah singgah dihatiku dan kau menjadi motivasi jiwaku”

Template by:

Free Blog Templates